Kamis, 12 Januari 2012

Tuhan Itu Ada, Yang Kita Sebut Dengan Nama Allah


Anis Maryani


”Tuhan itu tidak ada! Aku tidak percaya dengan yang namanya Tuhan!”

Aku terkejut! Aku tersadar dari lamunanku. Akupun beranjak mencari asal suara itu. Di balik pohon di tepi danau yang tak jauh dari tempatku tadi, aku menemukan seorang gadis yang sebaya denganku sedang menangis sesenggukan disana. Sepertinya dia sedang mendapatkan masalah. Akupun memberanikan diri mendekatinya.

”Assalamu’alaikum”



Gadis itu diam saja. Dia tidak memedulikan salam dan kehadiranku.

”Menjawab salam itu hukumnya wajib lho. Kamu orang islam kan?”
”Aku gak percaya sama agama. Aku gak percaya sama yang namanya Tuhan!”
Sontak aku kembali terkejut.
“Jadi kamu yang teriak tadi?”
”Iya! Emang kenapa! Kamu gak suka! Kalo gak suka pergi aja sana!” bentaknya.
”Astaghfirullah... Kamu tidak boleh berkata seperti itu! Apa yang membuatmu mengatakan kalau Tuhan itu tidak ada? Ketahuilah Allah akan mengazabmu!” akupun menjadi naik pitam.
Gadis itu berdiri lalu berkata, Lalu kenapa di dunia ini masih ada manusia-manusia jahannam? Kenapa masih ada banyak penderitaan di dunia ini? Kemana Tuhan yang dikatakan selalu membawakan kebahagiaan di muka bumi? Kemana dia disaat hamba-hambanya membutuhkannya? Itulah yang membuatku yakin kalau Tuhan itu tidak a...akh..” gadis itu terjatuh. Dia memegangi dadanya dan terlihat kesakitan.

Aku panik.

”Ka, kamu kenapa?”
Dia semakin merintih kesakitan, lalu kemudian pingsan. Gadis itu pingsan di dalam dekapanku.

***

Masih dalam suasana sore yang mendung. Aku mengaji di dalam rumah kakekku sambil menunggui gadis yang ku temui di taman tadi yang terbaring di kamarku. Sayup-sayup matanya mulai terbuka, mungkin karena mendengar suaraku.

”Sodaqollaahul’aziim”
Aku mengakhiri kajianku.
”Kamu sudah sadar?”
Gadis itu mengamati seluruh keadaan ruangan.
”Dimana ini?”
”Ini rumah kakekku. Eh, kita belum kenalan. Nama aku Zara. Nama kamu siapa?”
”Tifani.”
”Hmm..tadi kan kamu jatuh pingsan di taman sambil megangin dada. Kalau boleh tahu..., kamu kenapa?”
Tifani tampak diam.
”Eh, maaf, aku gak bermaksud, sok tau, tapi, kalau kamu mau cerita, siapa tahu beban dipikiran kamu bisa berkurang. Tapi aku gak maksa kok.”
”Aku selalu merasakan ini. Merasakan sakit di dadaku. Setiap hari itu yang aku rasakan. Sebuah sakit yang tak bisa diobati, dengan obat macam apa pun.”

Aku terdiam sejenak.

”Apa yang membuatmu seperti itu?”

”Dua tahun lalu, kedua orangtuaku bercerai karna papaku ketahuan selingkuh. Bahkan papaku menghamili wanita selingkuhannya. Dan yang lebih parahnya, papa tidak mau mengakui anak yang dikandung wanita itu. Wanita itu ingin menggugurkan anak yang dikandungnya. Namun nyawa wanita itu ikut melayang.

Setelah bercerai kemudian mamaku menjadi seorang wanita pelacur. Dia frustasi terhadap apa yang papa perbuat. Lalu setahun kemudian mama hamil. Karena takut dicemooh orang akhirnya dia bunuh diri. Aku pun tumbuh menjadi gadis nakal, yang suka minum-minuman keras dan berjudi. Aku yang tinggal bersama sepupuku, diusir dari rumahnya karena kelakuanku itu. Teman-temanku pun menjauhiku. Aku selalu merasa kesepian, dan rasa sakit ini pun muncul begitu saja. Walaupun aku dikenal sebagai gadis nakal, namun aku tidak berani untuk mendekati narkoba. Entah kenapa, ada sesuatu hal dalam diriku yang selalu menghalangiku. Padahal, sudah tidak ada harapan lagi bagiku untuk hidup”

”Cerita tentang kehidupan kita hampir sama. Namun bedanya, aku adalah seorang anak hasil perzinahan.”
”Ka, kamu hasil perzinahan?”
”Iya. Dulu ibuku pernah tidur berduaan dengan pacarnya. Tak lama kemudian ibuku pun hamil. Namun pacarnya tak mau bertanggungjawab. Kedua orangtuanya mengusirnya dari rumah. Tapi yang membuat aku kagum dengan ibuku, dia tidak menggugurkan kandungannya. Setelah dia melahirkanku, dia meninggal. Begitulah cerita kakek, orang yang menolong ibuku. Dulu aku pun sering dicemooh oleh teman-temanku. Namun aku selalu berusaha agar mereka mau mengakuiku. Dan usahaku pun tidak sia-sia. Akhirnya sekarang mereka mau menerimaku.”

 Aku terdiam sejenak, membayangkan sesuatu.

”Waktu di taman tadi, kamu bilang kalau tuhan itu tidak ada karna banyak manusia-manusia jahannam. Pernahkah kamu berfikir. Bukan hanya manusia, tumbuhan, dan binatang yg Tuhan ciptakan. Tetapi juga malaikat, jin, syaitan, dan iblis. Allah memindahkan syaitan dan iblis dari surga ke neraka karna mereka sombong. Karena mereka tidak terima, mereka pun memutuskan untuk mengganggu manusia untuk berbuat jahat agar manusia yang berbuat jahat itu menemani mereka di neraka. Beruntunglah bagi mereka yg mempunyai iman yg kuat dan tak mudah diganggu oleh syaitan. Harusnya kamu bersyukur karna kamu masih bisa bernafas, melihat, merasa, meraba, mendengar, dan nikmat lain yg tak terhitung jumlahnya! Cemoohan hanyalah sebagian kecil dari cobaan yang Allah berikan kepada hambanya.
Renungkanlah. 

Siapa yg menciptakan kita? Siapa yg menciptakan bumi beserta isinya? Siapa yg mengatur pergerakan planet sehingga begitu rapi dan apik? Siapa yg menciptakan jagad raya dan alam semesta ini? Siapa yg memberikan nafas dan kenikmatan terhadap kita? 

Allah berfirman dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat 32-33 yang artinya, ’Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain). Dan dialah yang menciptakan malam dan siang, matahri dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.  Allah Maha Adil, Baik, dan Bijaksana. Manusia-manusia jahannam itu tetap diberinya nikmat yag aku sebutkan tadi. Namun mereka akan merasakan pembalasannya di akhirat nanti, di alam kubur, maupun saat kematiannya.” Tifani tampak merenung. Sepertinya dia merenungi apa yang aku bicarakan.

”Kamu beruntung Tifani. Allah tidak membiarkan kamu mendekati narkoba karna Allah masih sayang sama kamu. Karna sekali terjerat narkoba, kamu akan berada pada ambang kematian. Namun Allah berkehendak, untuk membukakan pintu rahmatnya padamu, agar kamu bartaubat. Aku harap kamu dapat mengerti maksud dari perkataanku. Dan aku berharap kamu dapat merenunginya.”
 Aku meninggalkan Tifani yang masih terdiam. Aku yakin, dia pasti akan berubah.

*** 

”Bagaimana dengan gadis itu. Apakah dia sudah sadar?”
”Iya kek. Namanya Tifani.”
”Trus, bagaimana dengan perkataannya yang tidak percaya dengan Tuhan itu?”                                             
”Tenang saja kek. Aku sudah bicara dengannya. Sekarang dia sedang merenunginya. Aku harap sih begitu.”
Tifani keluar dari kamarku. Sepertinya dia mendengarkan pembicaraanku dengan kakek.
”Zara”                                               
”Eh, Tifani. Sini gabung sama kita.”
Tifani mendekat.
”Zara. A, aku... Aku ingin tobat. Aku ingin bertaubat sama Allah.”

 Aku dan kakek saling pandang dan tersenyum.

”Tapi aku takut kalau taubatku tidak diterima sama Allah, karna aku sudah menganggapnya tidak ada.”
Kakek tersenyum sambil memegang pundaknya.
”Nak. Allah itu Maha Pemaaf. Bertaubatlah selagi kamu masih hidup, selagi kamu masih bisa bertaubat. Allah akan mengampuni segala dosa hambanya yang bertaubat.”
”Lalu bagaimana caranya?”
”Sekarang sudah jam setengah enam. Waktu ashar masih ada. Sekarang kamu pergi ke kamar mandi, wudhu, terus langsung solat. Minta ampunan sama Allah.”
”Kamu tahu caranya sholat?” tanyaku.
Tifani tersenyum. ”Iya. Agamaku Islam.”

 ***

Tifani berdoa dengan begitu khusyuk di kamarku dengan berurai air mata. Aku mengintipnya dari balik pintu kamarku. Suaranya tidak terdengar, namun aku bisa merasakan hatinya yang sedang bertaubat, meminta ampunan dan ridho dari allah. Alhamdulilah. Dia telah kembali ke jalan yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar